Laporan Akhir Praktikum



LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
PERTANIAN LESTARI





LogoUnib.png
 







Oleh:
Nama           : Putri Mian Hairani
NPM           : E1J012014
Hari             : Jumat  (08.00-11.40 WIB)
Co-ass         : Sumargono
                          

Laboratorium Agronomi
Jurusan Budidaya Pertanian
Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu
2014


ACARA I
PENGAWETAN TANAH DAN AIR 
SERTA 
PEMBENAH TANAH (AMELIORASI)












                                                                                   



I.        PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
            Kerusakan sifat fisik tanah, baik yang diakibatkan oleh proses erosi maupun pengolahan tanah yang intensif, seringkali menjadi penyebab penurunan produktivitas lahan tegalan tersebut. Oleh karena itu berbagai tindakan yang dapat mengurangi laju erosi, mempertahankan/meningkatkan kandungan bahan organik tanah, dan mengurangi dampak negatif dari pengolahan tanah sangat diperlukan. Disamping itu memilih komoditas yang tepat, merupakan usaha yang diperlukan dalam pelestarian lahan tegalan sebagai salah satu sumberdaya lahan pangan.
            Secara garis besar teknik konservasi dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu 1) teknik konservasi vegetatif dan 2) teknik konservasi mekanik (civil technique). Untuk mencapai hasil yang maksimum dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan, aplikasi dari kedua metode ini sebaiknya tidak dipisahkan. Sebagai contoh adalah pembuatan teras (teras bangku atau teras gulud) yang tergolong tindakan mekanis, akan dapat berfungsi secara maksimal bila dilengkapi dengan tanaman penguat teras pada bagian pinggir luarnya.
            Teras merupakan metode konservasi untuk menunjang praktek kegiatan pertanian lestari. Pembuatan teras ditujukan untuk mengurangi panjang lereng, menahan air sehingga mengurangi laju aliran permukaan (run off), serta memperbesar peluang air masuk ke dalam tanah secara infiltrasi. Tipe teras yang banyak diadopsi oleh masyarakat Indonesia adalah teras bangku (bench terrace) dan teras guludan (ridge terrace).
            Teras bangku dapat dibuat datar  (bidang olahnya datar membentuk sudut 00 dengan bidang horizontal), miring ke dalam (bidang olahnya miring beberapa derajat berlawanan dengan lereng aslinya), dan miring keluar (bidang olahnya miring beberapa derajat ke arah lereng aslinya). Sedangkan teras irigasi adalah teras bangku datar tanpa saluran teras. Teras irigasi biasanya digunakan pada lahan sawah tadah hujan.
            Teras guludan adalah barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran air di bagian belakang guludannya. Metode ini dikenal dengan istilah guludan bersaluran. Bagian-bagian teras guludan adalah guludan, saluran air dan bidang olah. Fungsi teras guludan pada prinsipnya sama dengan teras bangku, yakni menahan aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah.
            Diperlukan suatu usaha untuk mempercepat laju pemulihan lahan-lahan terdegradasi dengan menggunakan bahan-bahan pembenah tanah (amelioran) yang tersedia. Banyak bahan-bahan alam yang dapat digunakan sebagai bahan pembenah tanah untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
            Secara garis besar, bahan pembenah tanah dibedakan menjadi 2 yaitu: alami dan sintetis, dan berdasarkan senyawa pembentuknya juga dapat dibedakan dalam 2 kategori yakni: pembenah tanah organik (termasuk hayati) dan pembenah tanah anorganik.
            Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan bahan pembenah tanah mineral seperti zeolit berpengaruh lebih baik terhadap sifat-sifat tanah juka disertai dengan pemberian bahan organik. Bahan organik merupakan bahan pembenah tanah yang cukup tersedia, tidak membutuhkan biaya yang mahal serta terbarukan. Sehingga pengadaan bahan organik baik yang bersifat insitu maupun dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada seperti gulma harus lebih digalakkan. Pemanfaatan limbah pertanian dan lain sebagainya juga dapat dilakukan. Penggunaan bahan pembenah mineral harus diperhatikan dampak negatifnya terhadap lingkungan, diperhatikan pula faktor ketersediaan, dan jaminan mutu, serta harga. Pemanfaatan bahan pembenah tanah yang bersifat sintetis, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap lingkungan, harganya juga seringkali terlalu mahal.

1.2 Tujuan
·         Praktikan mengetahui teknologi pengawetan tanah dan air pada tanah miring melalui pembuatan teras.
·         Praktikan terampil melakukan pembuatan dan menentukan ukuran yang sesuai dengan kondisi lahan.
·         Praktikan mengetahui manfaat atau fungsi proses ameliorasi dalam memperbaiki kualitas tanah.
·         Praktikan dapat mengetahui akibat langsung pemberian amelioran terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.








II.     TINJAUAN PUSTAKA

            Jewawut (Setaria italica) atau millet adalah sejenis sereal berbiji kecil yang pernah menjadi makanan pokok masyarakat Asia Timur dan Tenggara sebelum mereka bercocok tanam tumbuhan serealia lainnya. Jewawut termasuk tanaman ekonomi minor namun memiliki nilai kandungan gizi yang mirip dengan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, gandum, dan tanaman biji-bijian yang lain karena tanaman jewawut sendiri adalah tergolong ke dalam jenis tanaman biji-bijian. Sebagaian besar masyarakat belum mengenal jewawut sebagai sumber pangan sehingga selama ini tanaman jewawut hanya dijadikan sebagai pakan burung. Padahal tanaman ini dapat diolah menjadi sumber makanan oleh masyarakat guna mendukung ketahanan pangan dan mengantisipasi masalah kelaparan (Marlin, 2009).
            Jewawut memiliki bentuk malai seperti bulir yang tersusun relatif rapat dan biji-bijinya yang masak bebas dari lemma dan palea. Tanaman ini termasuk hermaprodit dimana buliran berbentuk menjorong, bunga bawah steril sedangkan bunga atas hermaprodit. Biji bulat telur lebar, melekat pada sekam kelopak dan sekam mahkota, berwarna kuning pucat hingga jingga, merah, coklat atau hitam (Leonard dan Martin, 1988).
            Peranan lahan kering sebagai penyedia pangan semakin besar sejalan dengan semakin sempitnya lahan sawah produktif akibat tingginya laju konversi lahan sawah sekitar 132 ribu ha th-1 (Agus dan Irawan 2006). Kualitas lahan kering di Indonesia relatif rendah dimana salah satu penyebabnya berkaitan dengan karakteristik lahan di daerah tropika basah yaitu erosi dan pemiskinan hara (Kurnia et al. 2005).
            Penurunan kualitas lahan dicirikan dengan kandungan hara P, K, dan bahan organik rendah, Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan Kejenuhan Basa (KB) rendah serta kadar Al tinggi serta struktur tanah tidak stabil. Optimalisasi penggunaan lahan kering terdegradasi sebagai penyedia pangan perlu diawali dengan upaya rehabilitasi lahan agar kualitas tanah meningkat. Kualitas tanah (soil quality) yang dimaksud adalah kapasitas tanah untuk berfungsi dalam suatu ekosistem alami atau ekosistem yang dikelola, untuk menunjang produktivitas tanaman dan mendorong kualitas air dan udara serta mendukung kehidupan manusia dan lingkungannya (Karlen et al. 1997).
            Pengaruh penggunaan bahan pembenah tanah alami seperti lateks, pupuk kandang/ kompos dan biomas Flemingia congesta dan sisa tanaman bersifat sementara (temporary). Selain itu, penggunaan bahan organik berupa pupuk kandang maupun sisa tanaman membutuhkan dosis yang cukup tinggi yaitu sekitar 15-20 t ha-1 pupuk kandang (Kurnia 1996) dan 20-25 t ha-1 biomas Flemingia congesta (Nurida 2006). Implikasinya, dibutuhkan jumlah yang cukup besar dan seringkali sulit dalam pengadaannya. Untuk itu, diperlukan bahan pembenah tanah yang sulit didekomposisi, mampu bertahan lama di dalam tanah atau mempunyai efek yang relatif lama sehingga tidak perlu diberikan setiap tahun.
            Erosi bisa terjadi apabila intensitas hujan yang turun lebih tinggi dibanding kemampuan tanah untuk menyerap air hujan (Wudianto, 2000). Pada daerah tropika basah seperti Indonesia, hujan merupakan penyebab utama terjadinya erosi, dengan pukulan air hujan yang langsung jatuh ke permukaan tanah, agrergat yang berukuran besar akan hancur menjadi partikel yang lebih kecil dan terlempar besama percikan air, yang akan terangkut bersama aliran permukaan. Pada tanah yang berlereng, air hujan yang turun akan lebih banyak berupa aliran permukaan, yang seterusnya air akan mengalir dengan cepat dan menghancurkan serta membawa tanah bagian atas (top soil) yang umumnya tanah subur  (Brady, N, dan Buckman H, 1982).
















III.      METODE PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan meliputi alat ukur, tali rafia, sabit, cangkul dan Ph meter. Bahan yang digunakan adalah benih jewawut, kapur pertanian (dolomit), pupuk NPK.

3.2 Cara Kerja
·         Memulai pembuatan teras dari bagian atas dan terus ke bagian bawah lahan untuk menghindarkan kerusakan teras yang sedang dibuat oleh air yang mengalir pada permukaan bila terjadi hujan.
·         Menggali dan menimbun tanah bagian atas ke bagian lereng bawah sehingga terbentuk bidang olah baru. Tampingan teras terus dibuat miring, jika tanah stabil tampingan teras bisa dibuat lebih curam (tegak lurus).
·         Kemiringan bidang olah berkisar antara 0% (datar) sampai 3% mengarah ke saluran teras, atau mengarah ke bentuk lereng aslinya.
·         Bibir teras dan bidang tampingan teras ditanami rumput atau legum pakan ternak.
·         Ukuran panjang teras minimal 5 m dan lebar bidang olah disesuaikan dengan tingkat kemiringan lereng.
·         Sebagai indikator akibat pengaruh positif dari adanya teras, pada bidang olah dapat ditanami dengan tanaman-tanaman semusim, akan lebih baik jika dikombinasikan dengan perlakuan pengelolaan kesuburan tanah.
·         Setiap kelompok membuat 6 teras bangku, yang akan digunakan untuk menguji 3 jenis bahan pembenah tanah (amelioran) dolomit dengan 2 ulangan.
·         Menyebarkan bahan pembenah tanah dolomit secara merata di atas petakan yang telah dipersiapkan dengan dosis 2 ton/ha, 3 ton/ha, dan 4 ton/ha.
·         Pemberian dolomit diacak dengan ketentuan teras 1 & 4 (4 ton/ha), teras 2 &6 (2 ton/ha), dan teras 3 & 5 (3 ton/ha).
·         Setelah 1 minggu, jewawut di tanam dengan jarak tanam 25 x 25 cm.
·         Mengamati pertumbuhan tanaman dan mencatat perbedaannya akibat pemberian bahan pembenah tanah dolomit dengan dosis yang berbeda.
·         Mengamati Ph tanah sebelum dan setelah diberikan bahan pembenah tanah dengan menggunakan Ph meter.
·        Melakukan pemupukan setelah tanam, dengan pupuk Urea 75 kg/ha, pupuk KCL 50 kg/ha, dan pupuk SP36 50 kg/ha.
IV.           HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan
Tabel Tinggi Tanaman

Pengamatan Minggu 1
Teras
tinggi tanaman
rata-rata
1
2
3
4
1
50
30,5
38
60,5
44,75
2
38,5
37
41
39
38,875
3
45.5
41
37,5
42
30,125
4
45
54
37
37,5
43,375
5
44
40
48
54
46,5
6
44
43
47
29,5
40,875

Pengamatan Minggu 2
Teras
tinggi tanaman
rata-rata
1
2
3
4
1
54,5
34,5
40,5
44,5
43,5
2
42,5
42,5
51
45
45,25
3
0
28,5
39,5
43
27,75
4
46
60,5
42
45
48,375
5
48,5
43
50
52
48,375
6
45
45
48
36
43,5

Pengamatan Minggu 3
Teras
tinggi tanaman
rata-rata
1
2
3
4
1
68,5
80,5
71
53
68,25
2
70,5
56
52
74
63,125
3
0
53
45
55
38,25
4
55
70,5
56
59
60,125
5
52
52,5
53,5
60,2
54,55
6
53
46
49,5
37
46,375







Pengamatan Minggu 4
Teras
tinggi tanaman
rata-rata
1
2
3
4
1
70
82,5
73
54,5
70
2
74,5
57,5
53
75,5
65,125
3
0
55
48,5
57,5
40,25
4
57
72,5
58
60,5
62
5
54,5
56
57,5
65,5
58,375
6
57,5
48,5
52
43
50,25

Pengamatan Minggu 5
Teras
tinggi tanaman
rata-rata
1
2
3
4
1
73,6
84
73
57
71,9
2
77
61
56
78,5
68,125
3
0
56,5
51
59
41,625
4
59
74
62,5
64
64,875
5
57
59,5
59,5
68,5
61,125
6
60,5
52
55
46
53,375







TOTAL
Rata2
Teras
Rata-rata Tinggi Tanaman Minggu ke
1
2
3
4
5
1
44,75
43,5
68,25
70
71,9
59,68
2
38,875
45,25
63,125
65,125
68,125
56,1
3
30,125
27,75
38,25
40,25
41,625
35,6
4
43,375
48,375
60,125
62
64,875
55,75
5
46,5
48,375
54,55
58,375
61,125
53,375
6
40,875
43,5
46,375
50,25
53,375
46,875












Tabel Jumlah Daun

Pengamatan Minggu 1
Teras
Jumlah daun
rata-rata
1
2
3
4
1
7
5
6
9
6,75
2
5
8
6
7
6,5
3
6
8
5
5
6
4
5
6
5
4
5
5
6
5
4
4
4,75
6
4
4
4
4
4

Pengamatan Minggu 2
Teras
Jumlah daun
rata-rata
1
2
3
4
1
8
8
7
6
7,25
2
7
6
6
4
5,75
3
0
8
6
6
5
4
7
8
6
5
6,5
5
8
7
6
6
6,75
6
7
4
4
4
4,75

 Pengamatan Minggu 3
Teras
Jumlah daun
rata-rata
1
2
3
4
1
9
10
9
8
9
2
9
8
6
6
7,25
3
0
10
8
8
6,5
4
7
10
8
7
8
5
8
8
6
6
7
6
9
5
6
6
6,5

Pengamatan Minggu 4
Teras
Jumlah daun
rata-rata
1
2
3
4
1
11
13
12
13
12,25
2
10
10
14
11
11,25
3
0
7
8
14
7,25
4
6
12
6
7
7,75
5
6
13
7
6
8
6
9
6
6
6
6,75

Pengamatan Minggu 5
Teras
Jumlah daun
rata-rata
1
2
3
4
1
15
15
16
15
15,25
2
12
14
16
14
14
3
0
9
11
19
9,75
4
9
14
10
12
11,25
5
8
16
9
9
10,5
6
13
9
9
10
10,25











TOTAL
Rata2
Teras
Rata-rata Jumlah Daun Minggu ke
1
2
3
4
5
1
6
6
6
5
4
5
2
4
7
5
5
6
5
3
6
4
9
7
6
6
4
8
7
6
12
11
8
5
7
7
8
6
15
8
6
14
9
11
10
10
10





Tabel Jumlah Cabang dan Anakan
Pengamatan Minggu Ke 1
Teras
jumlah cabang
rata-rata
jumlah anakan
rata-rata
1
2
3
4
1
2
3
4
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Pengamatan Minggu Ke 2
Teras
jumlah cabang
rata-rata
jumlah anakan
rata-rata
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
2
2
2
2
0
0
0
0
0
2
2
2
2
2
2
0
0
0
0
0
3
0
1
0
3
1
0
0
0
0
0
4
0
4
2
0
1,5
0
0
0
0
0
5
0
3
0
0
0,75
0
0
0
0
0
6
2
3
1
0
1,5
0
0
0
0
0

Pengamatan Minggu Ke 3
Teras
jumlah cabang
rata-rata
jumlah anakan
rata-rata
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
2
4
3
2,75
2
3
2
1
2
2
1
6
3
4
3,5
5
4
3
1
3,25
3
0
0
1
1
0,5
0
1
0
1
0,5
4
4
4
3
4
3,75
1
1
1
0
0,75
5
2
3
2
2
2,25
1
2
2
3
2
6
2
3
4
2
2,75
1
1
2
0
1

Pengamatan Minggu Ke 4
Teras
jumlah cabang
rata-rata
jumlah anakan
rata-rata
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
4
6
7
4,75
2
4
3
2
2,75
2
1
7
5
6
4,75
6
4
3
1
3,5
3
0
2
2
2
1,5
0
1
1
1
0,75
4
6
6
5
6
5,75
1
2
2
0
1,25
5
4
3
4
2
3,25
1
2
3
3
2,25
6
2
4
6
3
3,75
1
2
2
0
1,25

Pengamatan Minggu Ke 5
Teras
jumlah cabang
rata-rata
jumlah anakan
rata-rata
1
2
3
4
1
2
3
4
1
4
6
8
9
6,75
2
4
3
2
2,75
2
3
9
6
8
6,5
6
4
3
1
3,5
3
0
4
4
5
3,25
0
1
3
2
1,5
4
8
8
5
6
6,75
2
4
2
2
2,5
5
5
5
6
4
5
3
2
3
3
2,75
6
4
5
6
3
4,5
4
3
2
2
2,75

4.2 Pembahasan

            Pada praktikum kali ini, sebelum dilakukan pemberian bahan pembenah tanah berupa dolomit, dilakukan pengukuran pH tanah pada setiap teras dan semuanya menunjukkan hasil pH sebesar 6. Dengan ukuran pH tersebut, dapat diketahui bahwa lahan sudah layak untuk menjadi lahan pertanian, karena biasanya pH normal untuk pertanian adalah yang memiliki pH 5.5 s/d 7. Setelah diberi perlakuan dolomit, pH kembali diukur, dan pH tanah tetap 6.
                 Budidaya tanaman jewawut ini agak mirip dengan tanaman sorgum. Untuk penanamnnya dapat dilakukan di lahan maupun di dalam green house untuk menjaganya dari gangguan hama seperti burung dan hama tikus karena jewawut ini termasuk tanaman yang digemari oleh kedua jenis hama ini. Sama dengan sorgum, benih jewawut tidak disemaikan tetapi dapat langsung di tanam pada suatu media tanam ataupun lahan penanaman dengan jumlah benih yang ditanam sebanyak satu jumput atau malai dalam satu lubang tanam .Jarak tanam yang cocok untuk tanaman jewawut pada luas areal 2 x 3 meter adalah 75 x 20 cm atau 70x 25 cm.
            Penyulaman, mengganti tanaman lama yang tumbuhnya tidak normal, rusak atau terkena hama penyakit dengan mencabut seluruh akarrnya kemudian diganti dengan tanaman baru pada lubang bekas tanaman tersebut.
            Pemberian Ajir. Pemberian cagak untuk memperkuat berdirinya juwawut. Biasanya dilakukan 2-3 MST.
            Pemangkasan, merupakan proses pemotongan tunas/cabang yang tumbuh tidak produktif. Pelaksanaannya dilakukan 2 tahap, pertama pada saat pemasangan ajir selanjutnya pemangkasan kedua dilakukan 3-4 minggu setelah pemangkasan pertama. Dilakukan penyiangan, lalu roguing.
            Proses pemupukannya dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk Urea, TSP dan KCL dengan perbandingan 2 : 1 : 1 dan jika perlu menambahkan fosfor sebagai pelengkap.
            Proses pemeliharaannya yang perlu dilakukan adalah penyiraman di mana di lakukan untuk membantu pertumbuhan tanaman. Penyiraman ini sebaiknya dilakukan 2 kali sehari agar tanaman tersebut tidak mengalami kekeringan selama pertumbuhannya.
            Penyulaman perlu juga dilakukan jika ada tanaman yang tidak tumbuh pada suatu lubang tanam. Selain itu, dapat pula dilakukan penyiangan untuk membersihkannya dari hama dan penyakit seperti gulma dan serangga perusak tanaman dengan menyemprotkan pestisida ke bagian tanaman yang terserang.
            Pengendalian hama & penyakit. Tanaman juwawut termasuk tanaman yang tahan terhadap serangan hama penyakit. Meskipun demikian tetap ada beberapa jenis hama dan penyakit yang menyerang, namun apabila tanaman ini dirawat dengan baik kecil kemungkinan akan terserang hama penyakit. Oleh karena itu tindakan preventif / berjaga-jaga sangat dianjurkan agar tanaman tidak terserang.






V.          KESIMPULAN
            Pemberian bahan pembenah tanah (amelioran) berupa kapur pertanian (dolomit) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dikarenakan pH tanah pada awalnya sudah 6.


DAFTAR PUSTAKA

Brady, N, dan Buckman H, 1982. Ilmu Tanah. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Karlen, D.I., M.J. Mausbach, J.W. Doran, R.G. Cline, R.F. Harris, and G.E. Schuman. 1997.        Soil Quality: a concept, definition and framework for evaluation (a guest editorial).             Soial. Sci. Am. J. 61:4-10.
Kurnia, U. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan untuk Meningkatkan dan Melestarikan            Produktivitas Tanah. Disertasi Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor.
Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi, 2005. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan              terdegradasi. Hlm 141-168. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju       Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Loenard, W. H. dan J. H. Martin, 1988. Cereal Crops. Macmillan Publishing Co., Inc. New          York.
Marlin, 2009. Sumber Pangan Tanaman Minor.        http://daengnawan.blogspot.com/2009/07/sumber-pangan-tanaman-minor.html.              Diakses pada tanggal 17 Des 2014.
Nurida, N.L. 2006. Peningkatan Kualitas Ultisol Jasinga Terdegradasi dengan pengolahan           Tanah dan Pemberian bahan Organik. Disertasi Sekolah Pascasarjana, Institut             Pertanian Bogor.
Wudianto, R, 2000. Mencegah Erosi. Jakarta: Penebar swadaya.




ACARA II
PENUTUP TANAH (MULSA)












Tomat.jpg



                                                                                                                                     




                                                                                    

 
I.        PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
            Mulsa adalah bahan yang dipakai menutupi permukaan tanah dan berfungsi untuk menghindarkan terpaan air hujan secara langsung, menghindari kehilangan air oleh penguapan (menjaga kelembaban tanah) dan menekap pertumbuhan gulma. Beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai mulsa adalah sisa tanaman seperti jerami padi, daun dan batang jagung, daun dan batang kacang tanah, dan gulma (alang-alang). Fungsi lainnya adalah untuk mempertahankan agregat tanah dari hantaman air hujan, memperkecil erosi permukaan tanah, dan melindungi tanah dari paparan cahaya matahari secara langsung.
Secara umum bahan yang digunakan sebagai mulsa terdiri dari bahan organik dan bahan sintesis.
            Bahan mulsa organik terdiri dari bahan organik sisa tanaman (jerami padi, batang dan daun jagung, batang dan daun kacang tanah, alang-alang, pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman. Bahan tersebut disebarkan secara merata di atas permukaan tanah setebal 2-5 cm sehingga permukaan tanah tertutup secara sempurna, akan lebih baik jika bahan organik yang digunakan sebagai mulsa tersebut dikeringkan terlebih dahulu.
            Bahan mulsa sintetik sering digunakan mulsa plastik untuk mengurangi penguapan air dari tanah dan menekan organisme pengganggu tanaman serta gulma. Lembaran plastik dibentangkan di atas permukaan tanah untuk melindungi tanaman. Jenis plastik yang digunakan biasanya plastik hitam perak (PHP). Warna perak pada mulsa akan memantulkan cahaya matahari sehingga proses fotosintesis menjadi lebih optimal, kondisi pertanaman tidak terlalu lembab, mengurangi serangan penyakit, dan mengusir serangga-serangga pengganggu tanaman seperti Thirps dan Aphids. Sedangkan warna hitam pada mulsa akan menyerap panas sehingga suhu di perakaran tanaman menjadi hangat. Akibatnya, perkembangan akar akan optimal. Selain itu warna hitam juga mencegah sinar matahari menembus ke dalam tanah sehingga benih-benih gulma tidak akan tumbuh.
            Pemasangan mulsa PHP sebaiknya dilakukan pada saat panas matahari terik agar mulsa dapat memuai sehingga menutup bedengan dengan tepat. Teknis pemasangannya cukup oleh 2 orang untuk satu bedengan. Setelah selesai pemasangan, bedengan dibiarkan tertutup mulsa PHP selama 3-5 hari sebelum dibuat lubang tanam. Tujuan agar pupuk kimia yang diberikan dapat berubah menjadi bentuk tersedia sehingga dapat diserap tanaman.

1.2 Tujuan
·         Praktikan mengetahui perbedaan jenis bahan mulsa pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
·         Praktikan mengetahui perbedaan jenis bahan mulsa pengaruhnya terhadap kelembaban tanah dan kelimpahan makroorganisme tanah.




























II.     TINJAUAN PUSTAKA

          Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) merupakan sayuran dan buah yang tergolong tanaman semusim berbentuk perdu dan termasuk kedalam famili Solanaceae. Buahnya
merupakan sumber vitamin dan mineral. Penggunaan dari tanaman tomat ini semakin luas,
karena selain di konsumsi sebagai tomat segar dan untuk bumbu masakan, juga dapat di olah
lebih lanjut sebagai bahan baku industri makanan seperti sari buah dan saus tomat. Tomat
merupakan salah satu tanaman komoditi sayuran yang penting di Indonesia. Tanaman hortikultura ini mempunyai nilai gizi yang tinggi. Kebutuhan konsumsi tomat dirasakan semakin meningkat dengan seiring peningkatan jumlah penduduk dan tingkat kecerdasan
(Putih, 1994).
            Banyaknya kendala yang dihadapi dalam upaya mendukung pengembangan dan
peningkatan produksi tanaman tomat untuk memenuhi kebutuhan nasional yaitu kurang
tersedianya bibit yang bermutu tinggi, besarnya biaya produksi yang disebabkan oleh penggunaan pestisida dan pupuk yang berlebihan, dan gangguan organisme pengganggu tumbuhan serta gulma yang dapat menyebabkan penurunan hasil panen hingga menggagalkan
panen pertanian (Deptan, 2007).
            Terjadinya penurunan hasil pertanian yang sering dikeluhkan oleh petani disebabkan oleh pertumbuhan gulma dengan tanaman pokok sehingga menyebabkan kompetisi antara gulma denga tanaman pokok. Penurunan hasil oleh gulma dapat mencapai 20 sampai 80% bila gulma tidak disiang (Moenandir, 1993).
            Usaha pengendalian gulma dilahan budidaya dapat dilakukan dengan cara antara lain : mekanis, preventif, hayati, kimiawi, dan kultur teknis. Salah satu cara kultur teknis yaitu dengan cara pemulsaan (Sukman, 2002).
            Pada tanaman tomat terdapat sederet jenis gulma diantaranya yaitu Ageratum conyzoides (bandotan putih), Amaranthus spinosus (bayam merah), Amaranthus retroflexus (bayam hijau), cyperus rotundus (teki), Panicum repens (Lempuyang) (Moenandir, 1990). Dalam pertanian keberadaan gulma sangat tidak dikehendaki karena dapat menurunkan produksi akibat bersaing dalam pengambilan unsur hara, air, sinar matahari, dan ruang hidup, dapat menurunkan mutu hasil akibat kontaminasi dengan bagian-bagian gulma, mengeluarkan senyawa alelopati yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, menjadi inang atau host bagi hama dan patogen yang menyerang tanaman, mengganggu tata guna air, dan secara umum meningkatkan biaya usaha tani karena peningkatan kegiatan di pertanaman akibat adanya gulma tersebut (Moenandir, 1990).
            Mengingat keberadaan gulma menimbulkan akibat-akibat yang merugikan maka harus dilakukan usaha-usaha pengendalian yang teratur dan terencana. Sehingga pengendalian gulma bukan lagi sebagai usaha sambilan, tetapi harus merupakan usaha tersendiri yang efisien, rasional berdasarkan pertimbangan ilmiah yang teruji, dan sebagai bagian dari pengelolaan organisme pengganggu yang merupakan komponen pokok dalam proses produksi pertanian (Setyorini, 2008).
            Salah satu metoda yang dapat dipakai untuk pengendalian gulma adalah dengan cara pemulsaan. Mulsa adalah suatu material yang digunakan untuk menutupi tanah dengan tujuan mencegah pemborosan air akibat evaporasi dan menghambat pertumbuhan gulma (Chozin dan Sumantri, 1983).
            Penggunaan mulsa organik merupakan pilihan alternatif yang tepat karena mulsa organik terdiri dari bahan organik sisa tanaman (seresah padi, serbuk gergaji, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman yang akan dapat memperbaiki kesuburan, struktur dan secara tidak langsung akan mempertahankan agregasi dan porositas tanah, yang berarti akan mempertahankan kapasitas tanah menahan air, setelah terdekomposisi.
            Forth (1994) mengemukakan bahwa penutupan  tanah dengan bahan organik yang berwarna muda dapat memantulkan sebagian besar dari radiasi matahari, menghambat kehilangan panas karena radiasi, meningkatkan penyerapan air dan mengurangi penguapan air di permukaan tanah.
            Berdasarkan hasil penelitian Susanti (2003), pemberian mulsa jerami padi sebanyak 15 ton/ha dapat meningkatkan hasil biji kering oven kacang tanah sebesar 3,09 ton/ha dibandingkan tanpa diberi mulsa yaitu sebesar 2,12 ton/ha atau meningkat sebesar 45,75 %.
            Pemberian mulsa organik dapat menurunkan suhu tanah dan menjaga kelembaban tanah yang cenderung tinggi dibandingkan tanpa perlakuan mulsa organik. Menurut Widyasari, Sumarni dan Ariffin (2011) menyatakan pada lahan yang diberi mulsa memiliki temperatur tanah yang cenderung menurun dan kelembaban tanah yang cenderung meningkat. Pemulsaan berfungsi untuk menekan fluktuasi temperatur tanah dan menjaga kelembaban tanah sehingga dapat mengurangi jumlah pemberian air.
            Menurut Mulyatri (2003) dan Sutejo (2002) bahwa mulsa dapat mengurangi kehilangan air dengan cara memelihara temperatur dan kelembaban tanah. Ini ditunjukkan dengan hasil pengamatan pada lahan yang diberi mulsa memiliki temperatur tanah yang cenderung menurun dan kelembaban tanah yang cenderung meningkat seiiring meningkatnya dosis pemulsaan. Kelembaban tanah dan temperatur tanah yang optimal, akan berpengaruh pada ketersedian air di bawah permukaan tanah. Kondisi seperti ini sangat menguntungkan bagi tanaman, yang berpengaruh pada fase pertumbuhan dan pembentukan buah.

























III.      METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan meliputi alat ukur, tali rafia, sabit, cangkul dan gembor. Bahan yang digunakan adalah benih tomat, plastik PHP, alang-alang, dan pupuk NPK.  

3.2 Cara Kerja
1.      Membuat guludan datar dengan panjang 5 meter dan lebar 0,75 m dan juga ada dengan lebar 1,5 m.
2.      Setiap kelompok membuat 6 guludan untuk 3 jenis perlakuan (Kontrol, PHP, dan mulsa jerami). Setiap perlakuan diulang sebanyak 2 kali, dengan perlakuan ulangan 1 adalah tomat varietas 001 dan perlakuan ulangan 2 adalah tomat varietas 002.
3.      Khusus mulsa organik menggunakan ketebalan minimal 2 cm dan menutup dengan sempurna.
4.      Melakukan persemaian terhadap benih tomat pada trai yang diletakkan di rumah kaca.
5.      Setelah umur persemaian mencapai 4 minggu, dan persentase kecambah lebih dari 80%, maka benih tomat siap untuk dipindah ke lahan yang sudah dipersiapkan.
6.      Tanaman tomat ditanam dengan jarak tanam 50 x 50 cm.
7.      Melakukan pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman akibat penggunaan mulsa yang berbeda.
8.      Mengamati kelimpahan makroorganisme tanah. Menghitung jenis dan jumlah yang ditemukan dengan cara membongkar tanah dengan ukuran 30 x 30 cm. Pada setiap guludan diulang sebanyak 3 kali.
9.      Melakukan pemupukan 2 MST (Minggu Setelah Tanam), dengan pupuk Urea 75 kg/ha, pupuk KCL 50 kg/ha, dan pupuk SP36 50 kg/ha.









IV.      HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan

Jumlah Benih
Tumbuh
Jenis Mulsa
Varietas
001
003
Minggu 1
Jerami
9
20
PHP
7
16
Kontrol
9
12




Minggu 2
Setelah Penyulaman
Jerami
10
19
PHP
10
14
Kontrol
10
20

Tinggi tanaman dan jumlah daun minggu 1
Rata-rata
Varietas 001
Varietas 002
Jerami
plastik
Kontrol
Jerami
Plastik
Kontrol
TT
JD
TT
JD
TT
JD
TT
JD
TT
JD
TT
JD
9.5
3
9
4
8
3
9.5
4
10
6
9.2
3
10
3
9.2
4
9.5
4
9.3
3
12
6
9
3
9.5
3
11
5
9
3
10
4
9
4
10
4
9,7
3
9,7
4
8
3
9,6
3
10,3
5
9,4
3



Tinggi tanaman dan jumlah daun minggu 2
Rata-rata
Varietas 001
Varietas 003
Jerami
plastik
Sekam
Jerami
Plastik
Sekam
TT
JD
TT
JD
TT
JD
TT
JD
TT
JD
TT
JD
13
5
11
6
11
6
12
6
12
8
11
6
12
5
10
6
12
5
11
5
13.3
7
12
5
12
4
12.5
7
11.5
6
12.3
6
11
6
11.5
6
12,3
4
11,2
6
11.5
5
11,8
5
12.1
7
11.5
5
Ket:
TT        : Tinggi Tanaman
JD        : Jumlah Daun

Kelimpahan Makroorganisme
No
Bedeng
Cacing
1
1
2
2
2
3
3
3
1
4
4
3
5
5
1
6
6
3

4.2 Pembahasan
            Dari hasil pengukuran, mulsa plastik dengan varietas 001 merupakan pengukuran tertinggi dari kontrol dan jerami. Sedangkan untuk kelimpahan makroorganisme berupa cacing, yang paling tinggi terdapat pada bedeng 2 (PHP), 4 (jerami), dan 6 (kontrol).
            Limbah jerami padi sangat mudah diperoleh diareal persawahan. Pemanfaatan sisa jerami dapat mengurangi masalah limbah. Sisa tanaman seperti jerami apabila dikomposkan berfungsi sebagai pupuk. Penggunaan pupuk organik dari limbah jerami akan mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk kimia. Jerami dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos melalui proses fermentasi dengan menggunakan aktivator mikroba untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan meningkatkan kualitas bahan. Prinsip pembuatan kompos bokashi adalah pencampuran bahan organik dengan mikroorganisme sebagai bioaktivator. Mikroorganisme tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya dari bakteri inokulan (bacterial inoculant) berupa effective microorganism (EM4). Bioaktivator yang terdapat dalam EM4 adalah Lactobacillus sp, Saccharomyces sp, Actinomycetes serta cendawan pengurai selulosa. Mikroorganisme tersebut berfungsi dalam menjaga keseimbangan karbon dan nitrogen yang merupakan faktor penentu keberhasilan pembuatan kompos (Djuarnani, Kristian, Setiawan, 2005 dan Yuwono, 2005). Dengan demikian pemanfaatan limbah bahan organik dan mikroorganisme yang berguna dalam
EM4 perlu dikembangkan dalam usaha menekan input bahan kimia anorganik.
            Bahan organik seperti limbah tanaman jerami dan alang-alang yang telah dikomposkan dan diterapkan pada tanaman tomat, diharapkan akan meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil tomat. Studi pemanfaatan bahan organik berarti menunjang sistem budidaya sayuran yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penelitian bahan organik ini perlu dikombinasikan dengan pemanfaatan mulsa organik jerami padi atau alang-alang, agar diperoleh lingkungan tumbuh yang optimum guna memperoleh produksi yang tinggi pada tanaman tomat.








V.          KESIMPULAN
            Varietas 001 lebih responsif terhadap penggunaan beberapa jenis mulsa daripada varetas 002. Mulsa yang paling efektif untuk mencegah pertumbuhan gulma adalah mulsa PHP. Sedangkan penggunaan mulsa jerami padi masih ada resiko tumbuhnya tanaman padi dari sisa-sisa panen.

DAFTAR PUSTAKA

Chozin, M. A dan Sumantri. 1983. Pengendalian Gulma dengan Mulsa dan           Herhisida,Pratumbuh Pada Tanaman Jagung (Zea mays L). Bull Agronomi Voll XIV    No 2 Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Deptan. 2007. Pedoman Tomat. http://www.deptan.go.id/ditlinhorti/          buku_sayur06/pedomantomat. Htm. 17 Des 2014.
Foth, H. P. 1994. Dasar-dasar ilmu tanah. Edisi 6. Penerbit Erangga. Jakarta.
Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. CV. Rajawali. Jakarta.
Moenandir, J. 1993. Ilmu Gulma Dalam sistim Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada.       Jakarta.
Mulyatri. 2003. Peranan pengolahan tanah dan bahan organik terhadap konservasi tanah             dan air. Pros. Sem. Nas. Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik          Lokasi.
Putih, Rida. 1994. Pengaruh Pemupukan P dan Pemangkasan Cabang Terhadap              Pertumbuhan dan Hash Tomat (Lycopersicum esculentum Mill). Jumal Stigma Vol.  VI no 1 April 1998, hlm.119-122.
Setyorini, Dwi. 2008. Pengaruh Umur Pindah Tanam dan Warna Mulsa Plastik Terhadap            Pertumbuhan dan Hasil Tomat. http://erlanardianarismansyah.file         swordpress.com!2009/ 12/3 7-ppopttomt.pdf. 17 Des 2014.
Sukman, Yakub. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Susanti, E. 2003. Pengaruh Ketebalan Mulsa Jerami terhadap Pertumbuhan dan Hasil      Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Jurusan Budidaya     Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Skripsi.
Sutejo, M. M. 2002. Pupuk dan cara pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.
Widyasari, L., T. Sumarni dan Ariffin. 2011. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Mulsa Jerami       Padi pada Pertumbuhan dan Hasil Kedelai. FPUB. Malang.
 

ACARA III
BAHAN ORGANIK



vima-1.jpg

















                                                                                    



I.        PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
            Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah penting bagi negera berkembang karena intensitasnya cenderung meningkat dari tahun ke tahun, sehingga akan tercipta lahan-lahan rusak yang jumlah maupun tingkat kerusakannya terus meningkat.
            Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia. Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus.
            Bahan organik berperan penting untuk menciptakan kesuburan tanah. Peranan bahan organik bagi tanah adalah dalam kaitannya dengan perubahan sifat-sifat tanah, yaitu sifat fisik, kimia, dan sifat biologis tanah.
            Pengelolaan tanah yang berkelanjutan berarti suatu upaya pemanfaatan tanah melalui pengendalian masukan dalam suatu proses untuk memperoleh produktivitas tinggi secara berkelanjutan, meningkatkan kualitas tanah, serta memperbaiki karakteristik lingkungan. Dengan demikian diharapkan kerusakan tanah dapat ditekan seminimal mungkin sampai batas yang dapat ditoleransi, sehingga sumberdaya tersebut dapat dipergunakan secara lestari dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.

1.2 Tujuan
·         Praktikan dapat mengenal beberapa sumber bahan organik.
·         Praktikan dapat mengetahui pengaruh pemberian bahan organik yang berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.



II.     TINJAUAN PUSTAKA

          Kacang hijau (Vigna radiata,L.) merupakan salah satu tanaman  leguminosae yang cukup penting di Indonesia setelah tanaman kedelai dan kacang tanah. Dalam setiap 100 gram biji kacang hijau mengandung 345 kal kalori, 22 gram protein, 1,2 g lemak, 62,9 g karbohidrat, 125 mg kalsium, 320 mg fosfor, 6,7 mg besi, 157 SI vitamin A, 0,64 mg vitamin B 1, 6 mg vitamin C dan 10 g air (Evita, 1997).
            Kacang hijau di Indonesia menempati urutan ketiga terpenting sebagai tanaman pangan legum, setelah kedelai dan kacang tanah. Penggunaan kacang hijau sangat beragam, dari olahan sederhana hingga produk olahan teknologi industri. Produk terbesar hasil olahan kacang hijau di pasar berupa taoge (kecambah), bubur, makanan bayi, industri minuman, kue, bahan campuran soun dan tepung hunkue. Kacang hijau juga dimanfaatkan sebagai bahan makanan, kacang hijau juga mempunyai manfaat sebagai tanaman penutup tanah dan pupuk
hijau. Kandungan gizi dalam 100 g kacang hijau meliputi karbohidrat 62,9 g, protein 22,2 g, lemak 1,2 g juga mengandung Vitamin A 157 U, Vitamin B1 0,64 g, Vitamin C 6,0 g dan mengandung 345 kalori (Mustakim, 2012).
            Masih rendahnya produksi dan produktivitas yang dicapai petani dalam pengembangan budidaya kacang hijau disebabkan oleh teknik budidaya yang belum optimal, pemupukan dan persediaan air kurang memadai, adanya serangan hama dan penyakit, serta adanya gangguan gulma yang merupakan pesaing dari kacang hijau. Pengaruh yang merugikan dari gulma terhadap tanaman budidaya dapat berupa persaingan dalam pemanfaatan unsur hara, air, cahaya serta ruang tempat tumbuh. Kemampuan persaingan antara tanaman dengan gulma dipengaruhi oleh jenis gulma, kerapatan gulma, saat dan lamanya persaingan, cara budidaya, dan varietas yang ditanam serta tingkat kesuburan tanah. ( Fitrina, 2005 ).
          Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang
mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humus (Stevenson, 1982). Pada tanah pasiran bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat.
            Mekanisme pembentukan egregat tanah oleh adanya peran bahan organik ini dapat digolongan dalam empat bentuk: (1) Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah baik jamur dan actinomycetes. Melalui pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia jamur dan actinomycetes, maka akan terbentuk agregat walaupun tanpa adanya fraksi lempung; (2) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian–bagian positip dalam butir lempung dengan gugus negatif (karboksil) senyawa organik yang berantai panjang (polimer); (3) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagianbagian negatif dalam lempung dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organik berantai panjang dengan perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen; (4) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negatif dalam lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino) senyawa organik berantai panjang (polimer) (Seta, 1987). Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam humat lebih bertanggung jawab pada pembentukkan agregat di regosol, yang ditunjukkan oleh meningkatnya kemantapan agregat tanah (Partoyo, 1999).












III.      METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan meliputi alat ukur, tali rafia, sabit, cangkul dan gembor.
            Bahan yang digunakan adalah benih kacang hijau, pupuk organik berupa pupuk kompos, dan pupuk NPK.  

3.2 Cara Kerja
1.      Membuat petakan percobaan 1.5 x 2 m.
2.      Setiap kelompok membuat petakan sebanyak 6 petak untuk 3 dosis bahan organik berupa pupuk kompos (5, 10, dan 15 ton/ha) dengan 2 ulangan.
3.      Menyebarkan bahan organik yang telah dipersiapkan ke dalam petakan secara merata sesuai dengan dosis yang digunakan.
4.      Seminggu setelah pemberian pupuk kompos, maka segera menanam benih kacang hijau dengan jarak tanam 25 x 30 cm.
5.      Mengamati pertumbuhan dan perkembangan tanaman kacang hijau dan mencatat perbedaan pertumbuhan akibat pemberian dosis bahan organik yang berbeda.
6.     Melakukan pemupukan 2 MST (Minggu Setelah Tanam), dengan pupuk Urea 75 kg/ha, pupuk KCL 50 kg/ha, dan pupuk SP36 50 kg/ha.














IV.           HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan
Petak
Tinggi tanaman (cm)
minggu ke-
Rata2
Jumlah daun (helai) minggu ke-
Rata2
Minggu keluar bunga
Ket
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
6.5
13.5
17.4
22.6
26.9
17,38
2
7
12
17
21
11
4 MST
1 Mati















2
8
15
19.6
25.5
32.2
20,06
2
8
14
18
22
12
4 MST
1 Mati















3
6.3
11.8
13.5
16.5
19.3
13,48
2
4
8
14
18
9
4 MST
2 Mati















4
6.6
15.5
21.8
29.5
36.5
21,98
2
8
13
17
21
12,2
4 MST
-















5
5.7
11.2
14.8
18.2
22.2
14,42
2
6
10
14
18
10
4 MST
1 Mati















6
8.6
11.8
14.3
17.6
21
14,66
2
6
8
12
16
8
4 MST
1 Mati





4.2 Pembahasan
            Dari hasil pengamatan, dimana dosis pupuk 5 ton/ha (bedeng 4 dan 6), 10 ton/ha (bedeng 1 dan 2), dan 15 ton/ha (bedeng 3 dan 5) pengukuran tinggi tanaaman dan jumlah daun tertinggi terdapat pada petak ke 4 yaitu dosis pupuk kompos sebanyak 5 ton/ha.
            Namun, karena tidak dilakukannya pengendalian OPT, terdapat beberapa jenis penyakit seperti: bercak daun, karat daun, kudis, dan mozaik pada kacang hijau.
            Kacang hijau sangat cocok ditanam pada tanah bertekstur liat berlempung yang banyak mengandung bahan organik, aerasi, serta drainase yang baik. Kacang hijau akan tumbuh optimal pada struktur tanah yang gembur dengan pH 5,8 - 7,0 optimal 6,7.
            Untuk lahan yang kurang subur, tanaman dipupuk 45 kg Urea + 45 - 90 kg SP36 + SD kg KCl/ha yang diberikan pada saat tanam secara larikan di sisi lubang tanam sepanjang barisan tanaman. Bahan organik berupa pupuk kandang sebanyak 1520 ton/ha dan abu dapur sangat baik untuk pupuk dan diberikan sebagai penutup lubang tanam. Di lahan sawah bekas tanaman padi yang subur, tidak perlu dipupuk maupun diberi bahan organik. Manfaatkan mulsa jerami untuk budidaya kacang hijau. Karena penggunaan mulsa jerami dapat menekan serangan hama lalat bibit, pertumbuhan gulma, dan penguapan air. Dosis jerami padi diberikan sebanyak 5 ton/ha.
           


V.          KESIMPULAN
            Dari hasil pengamatan, pengukuran tinggi tanaaman dan jumlah daun tertinggi terdapat pada petak ke 4 yaitu dosis pupuk kompos sebanyak 5 ton/ha.


DAFTAR PUSTAKA

Evita, 2007 : 5. “Pengaruh beberapa dosis kompos sampah kota terhadap pertumbuhan dan         hasil kacang hijau”. Jurnal agronomi, 13 No. 2, Juli – Desember 2009.
Fitrina, 2005 : 2 Pengaruh Kerapatan Awal Umbi Teki (Cyperus rotundus L.) dan Dosis    Pupuk K Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.)        Artikel : Instansi Badan Bimas Ketahanan
Mustakim, M. 2012. Budidaya kacang hijau secara intensif. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.         140 hal.
Pangan Provinsi Sumatera Barat Jalan Raden Saleh No. 4 Padang.
Partoyo, Joetono, dan Sri Hastuti. 1999. Pengaruh Polisakarida fraksi berat tanah dan asam         humat pada pembentukan dan pemantapan agregat regosol. Konggres Nasional VII.     HITI. Bandung.
Scholes, M.C., Swift, O.W., Heal, P.A. Sanchez, JSI., Ingram and R. Dudal, 1994. Soil    Fertility research in response to demand for sustainability. In The biological        managemant of tropical soil fertility (Eds Woomer, Pl. and Swift, MJ.) John Wiley &            Sons. New York
Seta, A.K. 1987. Konservasi Sumberdaya Tanah. Kalam Mulia. Jakarta.
Stevenson, F.T. (1982) Humus Chemistry. John Wiley and Sons, Newyork.