LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
PERTANIAN LESTARI
PERTANIAN LESTARI
Oleh:
Nama : Putri Mian Hairani
NPM : E1J012014
Hari : Jumat (08.00-11.40 WIB)
Co-ass : Sumargono
Laboratorium Agronomi
Jurusan Budidaya Pertanian
Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu
2014
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kerusakan sifat fisik tanah, baik
yang diakibatkan oleh proses erosi maupun pengolahan tanah yang intensif,
seringkali menjadi penyebab penurunan produktivitas lahan tegalan tersebut.
Oleh karena itu berbagai tindakan yang dapat mengurangi laju erosi,
mempertahankan/meningkatkan kandungan bahan organik tanah, dan mengurangi
dampak negatif dari pengolahan tanah sangat diperlukan. Disamping itu memilih
komoditas yang tepat, merupakan usaha yang diperlukan dalam pelestarian lahan
tegalan sebagai salah satu sumberdaya lahan pangan.
Secara garis besar teknik konservasi
dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu 1) teknik konservasi vegetatif dan 2)
teknik konservasi mekanik (civil
technique). Untuk mencapai hasil yang maksimum dalam mengendalikan erosi
dan aliran permukaan, aplikasi dari kedua metode ini sebaiknya tidak
dipisahkan. Sebagai contoh adalah pembuatan teras (teras bangku atau teras
gulud) yang tergolong tindakan mekanis, akan dapat berfungsi secara maksimal
bila dilengkapi dengan tanaman penguat teras pada bagian pinggir luarnya.
Teras merupakan metode konservasi
untuk menunjang praktek kegiatan pertanian lestari. Pembuatan teras ditujukan
untuk mengurangi panjang lereng, menahan air sehingga mengurangi laju aliran
permukaan (run off), serta
memperbesar peluang air masuk ke dalam tanah secara infiltrasi. Tipe teras yang
banyak diadopsi oleh masyarakat Indonesia adalah teras bangku (bench terrace) dan teras guludan (ridge terrace).
Teras bangku dapat dibuat datar (bidang olahnya datar membentuk sudut 00
dengan bidang horizontal), miring ke dalam (bidang olahnya miring beberapa
derajat berlawanan dengan lereng aslinya), dan miring keluar (bidang olahnya
miring beberapa derajat ke arah lereng aslinya). Sedangkan teras irigasi adalah
teras bangku datar tanpa saluran teras. Teras irigasi biasanya digunakan pada
lahan sawah tadah hujan.
Teras guludan adalah barisan guludan
yang dilengkapi dengan saluran air di bagian belakang guludannya. Metode ini dikenal
dengan istilah guludan bersaluran. Bagian-bagian teras guludan adalah guludan,
saluran air dan bidang olah. Fungsi teras guludan pada prinsipnya sama dengan
teras bangku, yakni menahan aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan air ke
dalam tanah.
Diperlukan suatu usaha untuk
mempercepat laju pemulihan lahan-lahan terdegradasi dengan menggunakan
bahan-bahan pembenah tanah (amelioran) yang tersedia. Banyak bahan-bahan alam
yang dapat digunakan sebagai bahan pembenah tanah untuk memperbaiki sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah.
Secara garis besar, bahan pembenah
tanah dibedakan menjadi 2 yaitu: alami dan sintetis, dan berdasarkan senyawa
pembentuknya juga dapat dibedakan dalam 2 kategori yakni: pembenah tanah
organik (termasuk hayati) dan pembenah tanah anorganik.
Beberapa hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa penggunaan bahan pembenah tanah mineral seperti zeolit
berpengaruh lebih baik terhadap sifat-sifat tanah juka disertai dengan
pemberian bahan organik. Bahan organik merupakan bahan pembenah tanah yang
cukup tersedia, tidak membutuhkan biaya yang mahal serta terbarukan. Sehingga
pengadaan bahan organik baik yang bersifat insitu maupun dengan memanfaatkan
sumber-sumber yang ada seperti gulma harus lebih digalakkan. Pemanfaatan limbah
pertanian dan lain sebagainya juga dapat dilakukan. Penggunaan bahan pembenah
mineral harus diperhatikan dampak negatifnya terhadap lingkungan, diperhatikan
pula faktor ketersediaan, dan jaminan mutu, serta harga. Pemanfaatan bahan
pembenah tanah yang bersifat sintetis, dikhawatirkan akan berdampak negatif
terhadap lingkungan, harganya juga seringkali terlalu mahal.
1.2 Tujuan
·
Praktikan mengetahui teknologi pengawetan tanah
dan air pada tanah miring melalui pembuatan teras.
·
Praktikan terampil melakukan pembuatan dan
menentukan ukuran yang sesuai dengan kondisi lahan.
·
Praktikan mengetahui manfaat atau fungsi proses
ameliorasi dalam memperbaiki kualitas tanah.
·
Praktikan dapat mengetahui akibat langsung
pemberian amelioran terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Jewawut (Setaria italica)
atau millet adalah sejenis sereal berbiji kecil yang pernah menjadi
makanan pokok masyarakat Asia Timur dan Tenggara sebelum mereka bercocok tanam
tumbuhan serealia lainnya. Jewawut termasuk tanaman ekonomi minor namun
memiliki nilai kandungan gizi yang mirip dengan tanaman pangan lainnya seperti
padi, jagung, gandum, dan tanaman biji-bijian yang lain karena tanaman jewawut
sendiri adalah tergolong ke dalam jenis tanaman biji-bijian. Sebagaian besar masyarakat
belum mengenal jewawut sebagai sumber pangan sehingga selama ini tanaman
jewawut hanya dijadikan sebagai pakan burung. Padahal tanaman ini dapat diolah
menjadi sumber makanan oleh masyarakat guna mendukung ketahanan pangan dan
mengantisipasi masalah kelaparan (Marlin, 2009).
Jewawut
memiliki bentuk malai seperti bulir yang tersusun relatif rapat dan
biji-bijinya yang masak bebas dari lemma dan palea. Tanaman ini termasuk
hermaprodit dimana buliran berbentuk menjorong, bunga bawah steril sedangkan
bunga atas hermaprodit. Biji bulat telur lebar, melekat pada sekam kelopak dan
sekam mahkota, berwarna kuning pucat hingga jingga, merah, coklat atau hitam
(Leonard dan Martin, 1988).
Peranan lahan
kering sebagai penyedia pangan semakin besar sejalan dengan semakin sempitnya
lahan sawah produktif akibat tingginya laju konversi lahan sawah sekitar 132
ribu ha th-1 (Agus dan Irawan 2006). Kualitas lahan kering di Indonesia relatif
rendah dimana salah satu penyebabnya berkaitan dengan karakteristik lahan di
daerah tropika basah yaitu erosi dan pemiskinan hara (Kurnia et al. 2005).
Penurunan
kualitas lahan dicirikan dengan kandungan hara P, K, dan bahan organik rendah,
Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan Kejenuhan Basa (KB) rendah serta kadar Al
tinggi serta struktur tanah tidak stabil. Optimalisasi penggunaan lahan kering
terdegradasi sebagai penyedia pangan perlu diawali dengan upaya rehabilitasi
lahan agar kualitas tanah meningkat. Kualitas tanah (soil quality) yang
dimaksud adalah kapasitas tanah untuk
berfungsi dalam suatu ekosistem alami atau ekosistem yang dikelola, untuk
menunjang produktivitas tanaman dan mendorong kualitas air dan udara serta
mendukung kehidupan manusia dan lingkungannya (Karlen et al. 1997).
Pengaruh
penggunaan bahan pembenah tanah alami seperti lateks, pupuk kandang/ kompos dan
biomas Flemingia congesta dan sisa tanaman bersifat sementara (temporary).
Selain itu, penggunaan bahan organik berupa pupuk kandang maupun sisa tanaman
membutuhkan dosis yang cukup tinggi yaitu sekitar 15-20 t ha-1 pupuk kandang
(Kurnia 1996) dan 20-25 t ha-1 biomas Flemingia congesta (Nurida 2006).
Implikasinya, dibutuhkan jumlah yang cukup besar dan seringkali sulit dalam
pengadaannya. Untuk itu, diperlukan bahan pembenah tanah yang sulit
didekomposisi, mampu bertahan lama di dalam tanah atau mempunyai efek yang
relatif lama sehingga tidak perlu diberikan setiap tahun.
Erosi bisa terjadi apabila
intensitas hujan yang turun lebih tinggi dibanding kemampuan tanah untuk
menyerap air hujan (Wudianto, 2000). Pada daerah tropika basah seperti
Indonesia, hujan merupakan penyebab utama terjadinya erosi, dengan pukulan air
hujan yang langsung jatuh ke permukaan tanah, agrergat yang berukuran besar
akan hancur menjadi partikel yang lebih kecil dan terlempar besama percikan
air, yang akan terangkut bersama aliran permukaan. Pada tanah yang berlereng,
air hujan yang turun akan lebih banyak berupa aliran permukaan, yang seterusnya
air akan mengalir dengan cepat dan menghancurkan serta membawa tanah bagian
atas (top soil) yang umumnya tanah subur
(Brady, N, dan Buckman H, 1982).
III.
METODE
PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi alat
ukur, tali rafia, sabit, cangkul dan Ph meter. Bahan yang digunakan adalah
benih jewawut, kapur pertanian (dolomit), pupuk NPK.
3.2 Cara Kerja
·
Memulai pembuatan teras dari bagian atas dan
terus ke bagian bawah lahan untuk menghindarkan kerusakan teras yang sedang
dibuat oleh air yang mengalir pada permukaan bila terjadi hujan.
·
Menggali dan menimbun tanah bagian atas ke
bagian lereng bawah sehingga terbentuk bidang olah baru. Tampingan teras terus
dibuat miring, jika tanah stabil tampingan teras bisa dibuat lebih curam (tegak
lurus).
·
Kemiringan bidang olah berkisar antara 0% (datar)
sampai 3% mengarah ke saluran teras, atau mengarah ke bentuk lereng aslinya.
·
Bibir teras dan bidang tampingan teras ditanami
rumput atau legum pakan ternak.
·
Ukuran panjang teras minimal 5 m dan lebar
bidang olah disesuaikan dengan tingkat kemiringan lereng.
·
Sebagai indikator akibat pengaruh positif dari
adanya teras, pada bidang olah dapat ditanami dengan tanaman-tanaman semusim,
akan lebih baik jika dikombinasikan dengan perlakuan pengelolaan kesuburan
tanah.
·
Setiap kelompok membuat 6 teras bangku, yang
akan digunakan untuk menguji 3 jenis bahan pembenah tanah (amelioran) dolomit dengan
2 ulangan.
·
Menyebarkan bahan pembenah tanah dolomit secara
merata di atas petakan yang telah dipersiapkan dengan dosis 2 ton/ha, 3 ton/ha,
dan 4 ton/ha.
·
Pemberian dolomit diacak dengan ketentuan teras
1 & 4 (4 ton/ha), teras 2 &6 (2 ton/ha), dan teras 3 & 5 (3
ton/ha).
·
Setelah 1 minggu, jewawut di tanam dengan jarak
tanam 25 x 25 cm.
·
Mengamati pertumbuhan tanaman dan mencatat
perbedaannya akibat pemberian bahan pembenah tanah dolomit dengan dosis yang
berbeda.
·
Mengamati Ph tanah sebelum dan setelah diberikan
bahan pembenah tanah dengan menggunakan Ph meter.
·
Melakukan pemupukan setelah tanam, dengan pupuk
Urea 75 kg/ha, pupuk KCL 50 kg/ha, dan pupuk SP36 50 kg/ha.
IV.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Tabel
Tinggi Tanaman
Pengamatan
Minggu 1
|
|||||
Teras
|
tinggi
tanaman
|
rata-rata
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
50
|
30,5
|
38
|
60,5
|
44,75
|
2
|
38,5
|
37
|
41
|
39
|
38,875
|
3
|
45.5
|
41
|
37,5
|
42
|
30,125
|
4
|
45
|
54
|
37
|
37,5
|
43,375
|
5
|
44
|
40
|
48
|
54
|
46,5
|
6
|
44
|
43
|
47
|
29,5
|
40,875
|
Pengamatan
Minggu 2
|
|||||
Teras
|
tinggi
tanaman
|
rata-rata
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
54,5
|
34,5
|
40,5
|
44,5
|
43,5
|
2
|
42,5
|
42,5
|
51
|
45
|
45,25
|
3
|
0
|
28,5
|
39,5
|
43
|
27,75
|
4
|
46
|
60,5
|
42
|
45
|
48,375
|
5
|
48,5
|
43
|
50
|
52
|
48,375
|
6
|
45
|
45
|
48
|
36
|
43,5
|
Pengamatan
Minggu 3
|
|||||
Teras
|
tinggi
tanaman
|
rata-rata
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
68,5
|
80,5
|
71
|
53
|
68,25
|
2
|
70,5
|
56
|
52
|
74
|
63,125
|
3
|
0
|
53
|
45
|
55
|
38,25
|
4
|
55
|
70,5
|
56
|
59
|
60,125
|
5
|
52
|
52,5
|
53,5
|
60,2
|
54,55
|
6
|
53
|
46
|
49,5
|
37
|
46,375
|
Pengamatan
Minggu 4
|
|||||
Teras
|
tinggi
tanaman
|
rata-rata
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
70
|
82,5
|
73
|
54,5
|
70
|
2
|
74,5
|
57,5
|
53
|
75,5
|
65,125
|
3
|
0
|
55
|
48,5
|
57,5
|
40,25
|
4
|
57
|
72,5
|
58
|
60,5
|
62
|
5
|
54,5
|
56
|
57,5
|
65,5
|
58,375
|
6
|
57,5
|
48,5
|
52
|
43
|
50,25
|
Pengamatan
Minggu 5
|
|||||
Teras
|
tinggi
tanaman
|
rata-rata
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
73,6
|
84
|
73
|
57
|
71,9
|
2
|
77
|
61
|
56
|
78,5
|
68,125
|
3
|
0
|
56,5
|
51
|
59
|
41,625
|
4
|
59
|
74
|
62,5
|
64
|
64,875
|
5
|
57
|
59,5
|
59,5
|
68,5
|
61,125
|
6
|
60,5
|
52
|
55
|
46
|
53,375
|
TOTAL
|
Rata2
|
|||||
Teras
|
Rata-rata Tinggi Tanaman Minggu ke
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1
|
44,75
|
43,5
|
68,25
|
70
|
71,9
|
59,68
|
2
|
38,875
|
45,25
|
63,125
|
65,125
|
68,125
|
56,1
|
3
|
30,125
|
27,75
|
38,25
|
40,25
|
41,625
|
35,6
|
4
|
43,375
|
48,375
|
60,125
|
62
|
64,875
|
55,75
|
5
|
46,5
|
48,375
|
54,55
|
58,375
|
61,125
|
53,375
|
6
|
40,875
|
43,5
|
46,375
|
50,25
|
53,375
|
46,875
|
Tabel
Jumlah Daun
Pengamatan
Minggu 1
|
|||||
Teras
|
Jumlah daun
|
rata-rata
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
7
|
5
|
6
|
9
|
6,75
|
2
|
5
|
8
|
6
|
7
|
6,5
|
3
|
6
|
8
|
5
|
5
|
6
|
4
|
5
|
6
|
5
|
4
|
5
|
5
|
6
|
5
|
4
|
4
|
4,75
|
6
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Pengamatan
Minggu 2
|
|||||
Teras
|
Jumlah daun
|
rata-rata
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
8
|
8
|
7
|
6
|
7,25
|
2
|
7
|
6
|
6
|
4
|
5,75
|
3
|
0
|
8
|
6
|
6
|
5
|
4
|
7
|
8
|
6
|
5
|
6,5
|
5
|
8
|
7
|
6
|
6
|
6,75
|
6
|
7
|
4
|
4
|
4
|
4,75
|
Pengamatan Minggu 3
|
|||||
Teras
|
Jumlah daun
|
rata-rata
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
9
|
10
|
9
|
8
|
9
|
2
|
9
|
8
|
6
|
6
|
7,25
|
3
|
0
|
10
|
8
|
8
|
6,5
|
4
|
7
|
10
|
8
|
7
|
8
|
5
|
8
|
8
|
6
|
6
|
7
|
6
|
9
|
5
|
6
|
6
|
6,5
|
Pengamatan
Minggu 4
|
|||||
Teras
|
Jumlah daun
|
rata-rata
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
11
|
13
|
12
|
13
|
12,25
|
2
|
10
|
10
|
14
|
11
|
11,25
|
3
|
0
|
7
|
8
|
14
|
7,25
|
4
|
6
|
12
|
6
|
7
|
7,75
|
5
|
6
|
13
|
7
|
6
|
8
|
6
|
9
|
6
|
6
|
6
|
6,75
|
Pengamatan
Minggu 5
|
|||||
Teras
|
Jumlah daun
|
rata-rata
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
15
|
15
|
16
|
15
|
15,25
|
2
|
12
|
14
|
16
|
14
|
14
|
3
|
0
|
9
|
11
|
19
|
9,75
|
4
|
9
|
14
|
10
|
12
|
11,25
|
5
|
8
|
16
|
9
|
9
|
10,5
|
6
|
13
|
9
|
9
|
10
|
10,25
|
TOTAL
|
Rata2
|
|||||
Teras
|
Rata-rata Jumlah Daun Minggu ke
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1
|
6
|
6
|
6
|
5
|
4
|
5
|
2
|
4
|
7
|
5
|
5
|
6
|
5
|
3
|
6
|
4
|
9
|
7
|
6
|
6
|
4
|
8
|
7
|
6
|
12
|
11
|
8
|
5
|
7
|
7
|
8
|
6
|
15
|
8
|
6
|
14
|
9
|
11
|
10
|
10
|
10
|
Tabel
Jumlah Cabang dan Anakan
Pengamatan Minggu Ke 1
|
||||||||||
Teras
|
jumlah cabang
|
rata-rata
|
jumlah anakan
|
rata-rata
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
4
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
5
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
6
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Pengamatan Minggu Ke 2
|
||||||||||
Teras
|
jumlah cabang
|
rata-rata
|
jumlah anakan
|
rata-rata
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
1
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
0
|
1
|
0
|
3
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
4
|
0
|
4
|
2
|
0
|
1,5
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
5
|
0
|
3
|
0
|
0
|
0,75
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
6
|
2
|
3
|
1
|
0
|
1,5
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Pengamatan Minggu Ke 3
|
||||||||||
Teras
|
jumlah cabang
|
rata-rata
|
jumlah anakan
|
rata-rata
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
1
|
2
|
2
|
4
|
3
|
2,75
|
2
|
3
|
2
|
1
|
2
|
2
|
1
|
6
|
3
|
4
|
3,5
|
5
|
4
|
3
|
1
|
3,25
|
3
|
0
|
0
|
1
|
1
|
0,5
|
0
|
1
|
0
|
1
|
0,5
|
4
|
4
|
4
|
3
|
4
|
3,75
|
1
|
1
|
1
|
0
|
0,75
|
5
|
2
|
3
|
2
|
2
|
2,25
|
1
|
2
|
2
|
3
|
2
|
6
|
2
|
3
|
4
|
2
|
2,75
|
1
|
1
|
2
|
0
|
1
|
Pengamatan Minggu Ke 4
|
||||||||||
Teras
|
jumlah cabang
|
rata-rata
|
jumlah anakan
|
rata-rata
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
1
|
2
|
4
|
6
|
7
|
4,75
|
2
|
4
|
3
|
2
|
2,75
|
2
|
1
|
7
|
5
|
6
|
4,75
|
6
|
4
|
3
|
1
|
3,5
|
3
|
0
|
2
|
2
|
2
|
1,5
|
0
|
1
|
1
|
1
|
0,75
|
4
|
6
|
6
|
5
|
6
|
5,75
|
1
|
2
|
2
|
0
|
1,25
|
5
|
4
|
3
|
4
|
2
|
3,25
|
1
|
2
|
3
|
3
|
2,25
|
6
|
2
|
4
|
6
|
3
|
3,75
|
1
|
2
|
2
|
0
|
1,25
|
Pengamatan Minggu Ke 5
|
||||||||||
Teras
|
jumlah cabang
|
rata-rata
|
jumlah anakan
|
rata-rata
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
1
|
4
|
6
|
8
|
9
|
6,75
|
2
|
4
|
3
|
2
|
2,75
|
2
|
3
|
9
|
6
|
8
|
6,5
|
6
|
4
|
3
|
1
|
3,5
|
3
|
0
|
4
|
4
|
5
|
3,25
|
0
|
1
|
3
|
2
|
1,5
|
4
|
8
|
8
|
5
|
6
|
6,75
|
2
|
4
|
2
|
2
|
2,5
|
5
|
5
|
5
|
6
|
4
|
5
|
3
|
2
|
3
|
3
|
2,75
|
6
|
4
|
5
|
6
|
3
|
4,5
|
4
|
3
|
2
|
2
|
2,75
|
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini, sebelum
dilakukan pemberian bahan pembenah tanah berupa dolomit, dilakukan pengukuran
pH tanah pada setiap teras dan semuanya menunjukkan hasil pH sebesar 6. Dengan
ukuran pH tersebut, dapat diketahui bahwa lahan sudah layak untuk menjadi lahan
pertanian, karena biasanya pH normal untuk pertanian adalah yang memiliki pH
5.5 s/d 7. Setelah diberi perlakuan dolomit, pH kembali diukur, dan pH tanah
tetap 6.
Budidaya tanaman
jewawut ini agak mirip dengan tanaman sorgum. Untuk penanamnnya dapat dilakukan
di lahan maupun di dalam green house untuk menjaganya dari
gangguan hama seperti burung dan hama tikus karena jewawut
ini termasuk tanaman yang digemari oleh kedua jenis hama ini. Sama
dengan sorgum, benih jewawut tidak disemaikan tetapi dapat langsung di tanam
pada suatu media tanam ataupun lahan penanaman dengan jumlah benih yang ditanam
sebanyak satu jumput atau malai dalam satu lubang tanam .Jarak tanam yang cocok
untuk tanaman jewawut pada luas areal 2 x 3 meter adalah 75 x 20 cm
atau 70x 25 cm.
Penyulaman,
mengganti tanaman lama yang tumbuhnya tidak normal, rusak atau terkena hama
penyakit dengan mencabut seluruh akarrnya kemudian diganti dengan tanaman baru
pada lubang bekas tanaman tersebut.
Pemberian
Ajir. Pemberian cagak untuk memperkuat berdirinya juwawut. Biasanya dilakukan
2-3 MST.
Pemangkasan,
merupakan proses pemotongan tunas/cabang yang tumbuh tidak produktif.
Pelaksanaannya dilakukan 2 tahap, pertama pada saat pemasangan ajir selanjutnya
pemangkasan kedua dilakukan 3-4 minggu setelah pemangkasan pertama. Dilakukan penyiangan,
lalu roguing.
Proses
pemupukannya dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk Urea, TSP dan KCL dengan
perbandingan 2 : 1 : 1 dan jika perlu menambahkan fosfor sebagai
pelengkap.
Proses
pemeliharaannya yang perlu dilakukan adalah penyiraman di mana di lakukan untuk
membantu pertumbuhan tanaman. Penyiraman ini sebaiknya dilakukan 2 kali sehari
agar tanaman tersebut tidak mengalami kekeringan selama pertumbuhannya.
Penyulaman
perlu juga dilakukan jika ada tanaman yang tidak tumbuh pada suatu lubang
tanam. Selain itu, dapat pula dilakukan penyiangan untuk membersihkannya
dari hama dan penyakit seperti gulma dan serangga perusak tanaman
dengan menyemprotkan pestisida ke bagian tanaman yang terserang.
Pengendalian
hama & penyakit. Tanaman juwawut termasuk tanaman yang tahan terhadap
serangan hama penyakit. Meskipun demikian tetap ada beberapa jenis hama dan
penyakit yang menyerang, namun apabila tanaman ini dirawat dengan baik kecil
kemungkinan akan terserang hama penyakit. Oleh karena itu tindakan preventif /
berjaga-jaga sangat dianjurkan agar tanaman tidak terserang.
V.
KESIMPULAN
Pemberian bahan pembenah tanah
(amelioran) berupa kapur pertanian (dolomit) tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan dikarenakan pH tanah pada awalnya sudah 6.
DAFTAR PUSTAKA
Brady, N, dan Buckman H, 1982. Ilmu Tanah. Jakarta: Bhatara Karya
Aksara.
Karlen, D.I., M.J. Mausbach, J.W.
Doran, R.G. Cline, R.F. Harris, and G.E. Schuman. 1997. Soil Quality: a concept, definition and
framework for evaluation (a guest editorial). Soial.
Sci. Am. J. 61:4-10.
Kurnia, U. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan untuk Meningkatkan dan
Melestarikan Produktivitas Tanah. Disertasi Fakultas Pasca Sarjana,
IPB. Bogor.
Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi,
2005. Teknologi rehabilitasi dan
reklamasi lahan terdegradasi. Hlm 141-168. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering:
Menuju Pertanian
Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Loenard, W. H.
dan J. H. Martin, 1988. Cereal Crops. Macmillan Publishing
Co., Inc. New York.
Marlin, 2009. Sumber Pangan Tanaman Minor. http://daengnawan.blogspot.com/2009/07/sumber-pangan-tanaman-minor.html.
Diakses pada
tanggal 17 Des 2014.
Nurida, N.L. 2006. Peningkatan Kualitas Ultisol Jasinga Terdegradasi dengan
pengolahan Tanah dan Pemberian bahan Organik. Disertasi Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wudianto, R, 2000. Mencegah Erosi. Jakarta: Penebar swadaya.
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mulsa adalah bahan yang dipakai
menutupi permukaan tanah dan berfungsi untuk menghindarkan terpaan air hujan
secara langsung, menghindari kehilangan air oleh penguapan (menjaga kelembaban
tanah) dan menekap pertumbuhan gulma. Beberapa bahan yang dapat digunakan
sebagai mulsa adalah sisa tanaman seperti jerami padi, daun dan batang jagung,
daun dan batang kacang tanah, dan gulma (alang-alang). Fungsi lainnya adalah
untuk mempertahankan agregat tanah dari hantaman air hujan, memperkecil erosi
permukaan tanah, dan melindungi tanah dari paparan cahaya matahari secara
langsung.
Secara umum bahan yang digunakan sebagai mulsa terdiri dari
bahan organik dan bahan sintesis.
Bahan mulsa organik terdiri dari
bahan organik sisa tanaman (jerami padi, batang dan daun jagung, batang dan
daun kacang tanah, alang-alang, pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan
ranting tanaman. Bahan tersebut disebarkan secara merata di atas permukaan
tanah setebal 2-5 cm sehingga permukaan tanah tertutup secara sempurna, akan
lebih baik jika bahan organik yang digunakan sebagai mulsa tersebut dikeringkan
terlebih dahulu.
Bahan mulsa sintetik sering digunakan
mulsa plastik untuk mengurangi penguapan air dari tanah dan menekan organisme
pengganggu tanaman serta gulma. Lembaran plastik dibentangkan di atas permukaan
tanah untuk melindungi tanaman. Jenis plastik yang digunakan biasanya plastik
hitam perak (PHP). Warna perak pada mulsa akan memantulkan cahaya matahari
sehingga proses fotosintesis menjadi lebih optimal, kondisi pertanaman tidak
terlalu lembab, mengurangi serangan penyakit, dan mengusir serangga-serangga
pengganggu tanaman seperti Thirps dan
Aphids. Sedangkan warna hitam pada
mulsa akan menyerap panas sehingga suhu di perakaran tanaman menjadi hangat.
Akibatnya, perkembangan akar akan optimal. Selain itu warna hitam juga mencegah
sinar matahari menembus ke dalam tanah sehingga benih-benih gulma tidak akan
tumbuh.
Pemasangan mulsa PHP sebaiknya
dilakukan pada saat panas matahari terik agar mulsa dapat memuai sehingga
menutup bedengan dengan tepat. Teknis pemasangannya cukup oleh 2 orang untuk
satu bedengan. Setelah selesai pemasangan, bedengan dibiarkan tertutup mulsa
PHP selama 3-5 hari sebelum dibuat lubang tanam. Tujuan agar pupuk kimia yang
diberikan dapat berubah menjadi bentuk tersedia sehingga dapat diserap tanaman.
1.2 Tujuan
·
Praktikan mengetahui perbedaan jenis bahan mulsa
pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
·
Praktikan mengetahui perbedaan jenis bahan mulsa
pengaruhnya terhadap kelembaban tanah dan kelimpahan makroorganisme tanah.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Tomat (Lycopersicum
esculentum Mill.) merupakan sayuran dan buah yang tergolong tanaman semusim
berbentuk perdu dan termasuk kedalam famili Solanaceae. Buahnya
merupakan
sumber vitamin dan mineral. Penggunaan dari tanaman tomat ini semakin luas,
karena
selain di konsumsi sebagai tomat segar dan untuk bumbu masakan, juga dapat di
olah
lebih
lanjut sebagai bahan baku industri makanan seperti sari buah dan saus tomat.
Tomat
merupakan
salah satu tanaman komoditi sayuran yang penting di Indonesia. Tanaman
hortikultura ini mempunyai nilai gizi yang tinggi. Kebutuhan konsumsi tomat
dirasakan semakin meningkat dengan seiring peningkatan jumlah penduduk dan
tingkat kecerdasan
(Putih, 1994).
Banyaknya
kendala yang dihadapi dalam upaya mendukung pengembangan dan
peningkatan
produksi tanaman tomat untuk memenuhi kebutuhan nasional yaitu kurang
tersedianya
bibit yang bermutu tinggi, besarnya biaya produksi yang disebabkan oleh
penggunaan pestisida dan pupuk yang berlebihan, dan gangguan organisme
pengganggu tumbuhan serta gulma yang dapat menyebabkan penurunan hasil panen
hingga menggagalkan
panen
pertanian (Deptan, 2007).
Terjadinya
penurunan hasil pertanian yang sering dikeluhkan oleh petani disebabkan oleh
pertumbuhan gulma dengan tanaman pokok sehingga menyebabkan kompetisi antara
gulma denga tanaman pokok. Penurunan hasil oleh gulma dapat mencapai 20 sampai
80% bila gulma tidak disiang (Moenandir, 1993).
Usaha
pengendalian gulma dilahan budidaya dapat dilakukan dengan cara antara lain :
mekanis, preventif, hayati, kimiawi, dan kultur teknis. Salah satu cara kultur
teknis yaitu dengan cara pemulsaan (Sukman, 2002).
Pada
tanaman tomat terdapat sederet jenis gulma diantaranya yaitu Ageratum
conyzoides (bandotan putih), Amaranthus spinosus (bayam merah), Amaranthus
retroflexus (bayam hijau), cyperus rotundus (teki), Panicum
repens (Lempuyang) (Moenandir, 1990). Dalam pertanian keberadaan gulma
sangat tidak dikehendaki karena dapat menurunkan produksi akibat bersaing dalam
pengambilan unsur hara, air, sinar matahari, dan ruang hidup, dapat menurunkan
mutu hasil akibat kontaminasi dengan bagian-bagian gulma, mengeluarkan senyawa
alelopati yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, menjadi inang atau host
bagi hama dan patogen yang menyerang tanaman, mengganggu tata guna air, dan
secara umum meningkatkan biaya usaha tani karena peningkatan kegiatan di
pertanaman akibat adanya gulma tersebut (Moenandir, 1990).
Mengingat
keberadaan gulma menimbulkan akibat-akibat yang merugikan maka harus dilakukan
usaha-usaha pengendalian yang teratur dan terencana. Sehingga pengendalian
gulma bukan lagi sebagai usaha sambilan, tetapi harus merupakan usaha
tersendiri yang efisien, rasional berdasarkan pertimbangan ilmiah yang teruji,
dan sebagai bagian dari pengelolaan organisme pengganggu yang merupakan
komponen pokok dalam proses produksi pertanian (Setyorini, 2008).
Salah
satu metoda yang dapat dipakai untuk pengendalian gulma adalah dengan cara
pemulsaan. Mulsa adalah suatu material yang digunakan untuk menutupi tanah
dengan tujuan mencegah pemborosan air akibat evaporasi dan menghambat
pertumbuhan gulma (Chozin dan Sumantri, 1983).
Penggunaan mulsa organik
merupakan pilihan alternatif yang tepat karena mulsa organik terdiri dari bahan
organik sisa tanaman (seresah padi, serbuk gergaji, batang jagung), pangkasan
dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman yang akan dapat memperbaiki
kesuburan, struktur dan secara tidak langsung akan mempertahankan agregasi dan
porositas tanah, yang berarti akan mempertahankan kapasitas tanah menahan air,
setelah terdekomposisi.
Forth
(1994) mengemukakan bahwa penutupan tanah dengan bahan organik yang berwarna muda
dapat memantulkan sebagian besar dari radiasi matahari, menghambat kehilangan
panas karena radiasi, meningkatkan penyerapan air dan mengurangi penguapan air
di permukaan tanah.
Berdasarkan
hasil penelitian Susanti (2003), pemberian mulsa jerami padi sebanyak 15 ton/ha
dapat meningkatkan hasil biji kering oven kacang tanah sebesar 3,09 ton/ha
dibandingkan tanpa diberi mulsa yaitu sebesar 2,12 ton/ha atau meningkat
sebesar 45,75 %.
Pemberian
mulsa organik dapat menurunkan suhu tanah dan menjaga kelembaban tanah yang
cenderung tinggi dibandingkan tanpa perlakuan mulsa organik. Menurut Widyasari,
Sumarni dan Ariffin (2011) menyatakan pada lahan yang diberi mulsa memiliki
temperatur tanah yang cenderung menurun dan kelembaban tanah yang cenderung
meningkat. Pemulsaan berfungsi untuk menekan fluktuasi temperatur tanah dan
menjaga kelembaban tanah sehingga dapat mengurangi jumlah pemberian air.
Menurut
Mulyatri (2003) dan Sutejo (2002) bahwa mulsa dapat mengurangi kehilangan air
dengan cara memelihara temperatur dan kelembaban tanah. Ini ditunjukkan dengan
hasil pengamatan pada lahan yang diberi mulsa memiliki temperatur tanah yang
cenderung menurun dan kelembaban tanah yang cenderung meningkat seiiring
meningkatnya dosis pemulsaan. Kelembaban tanah dan temperatur tanah yang
optimal, akan berpengaruh pada ketersedian air di bawah permukaan tanah.
Kondisi seperti ini sangat menguntungkan bagi tanaman, yang berpengaruh pada
fase pertumbuhan dan pembentukan buah.
III.
METODE
PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi alat
ukur, tali rafia, sabit, cangkul dan gembor. Bahan yang digunakan adalah benih
tomat, plastik PHP, alang-alang, dan pupuk NPK.
3.2 Cara Kerja
1.
Membuat guludan datar dengan panjang 5 meter dan
lebar 0,75 m dan juga ada dengan lebar 1,5 m.
2.
Setiap kelompok membuat 6 guludan untuk 3 jenis
perlakuan (Kontrol, PHP, dan mulsa jerami). Setiap perlakuan diulang sebanyak 2
kali, dengan perlakuan ulangan 1 adalah tomat varietas 001 dan perlakuan
ulangan 2 adalah tomat varietas 002.
3.
Khusus mulsa organik menggunakan ketebalan
minimal 2 cm dan menutup dengan sempurna.
4.
Melakukan persemaian terhadap benih tomat pada
trai yang diletakkan di rumah kaca.
5.
Setelah umur persemaian mencapai 4 minggu, dan
persentase kecambah lebih dari 80%, maka benih tomat siap untuk dipindah ke
lahan yang sudah dipersiapkan.
6.
Tanaman tomat ditanam dengan jarak tanam 50 x 50
cm.
7.
Melakukan pengamatan terhadap pertumbuhan
tanaman akibat penggunaan mulsa yang berbeda.
8.
Mengamati kelimpahan makroorganisme tanah.
Menghitung jenis dan jumlah yang ditemukan dengan cara membongkar tanah dengan
ukuran 30 x 30 cm. Pada setiap guludan diulang sebanyak 3 kali.
9. Melakukan
pemupukan 2 MST (Minggu Setelah Tanam), dengan pupuk Urea 75 kg/ha, pupuk KCL
50 kg/ha, dan pupuk SP36 50 kg/ha.
IV.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Jumlah
Benih
Tumbuh
|
Jenis
Mulsa
|
Varietas
|
|
001
|
003
|
||
Minggu
1
|
Jerami
|
9
|
20
|
PHP
|
7
|
16
|
|
Kontrol
|
9
|
12
|
|
|
|
|
|
Minggu
2
Setelah
Penyulaman
|
Jerami
|
10
|
19
|
PHP
|
10
|
14
|
|
Kontrol
|
10
|
20
|
Tinggi tanaman dan jumlah daun minggu 1
Rata-rata
|
Varietas
001
|
Varietas
002
|
||||||||||
Jerami
|
plastik
|
Kontrol
|
Jerami
|
Plastik
|
Kontrol
|
|||||||
TT
|
JD
|
TT
|
JD
|
TT
|
JD
|
TT
|
JD
|
TT
|
JD
|
TT
|
JD
|
|
9.5
|
3
|
9
|
4
|
8
|
3
|
9.5
|
4
|
10
|
6
|
9.2
|
3
|
|
10
|
3
|
9.2
|
4
|
9.5
|
4
|
9.3
|
3
|
12
|
6
|
9
|
3
|
|
9.5
|
3
|
11
|
5
|
9
|
3
|
10
|
4
|
9
|
4
|
10
|
4
|
|
9,7
|
3
|
9,7
|
4
|
8
|
3
|
9,6
|
3
|
10,3
|
5
|
9,4
|
3
|
Tinggi tanaman dan jumlah daun minggu 2
Rata-rata
|
Varietas
001
|
Varietas
003
|
||||||||||
Jerami
|
plastik
|
Sekam
|
Jerami
|
Plastik
|
Sekam
|
|||||||
TT
|
JD
|
TT
|
JD
|
TT
|
JD
|
TT
|
JD
|
TT
|
JD
|
TT
|
JD
|
|
13
|
5
|
11
|
6
|
11
|
6
|
12
|
6
|
12
|
8
|
11
|
6
|
|
12
|
5
|
10
|
6
|
12
|
5
|
11
|
5
|
13.3
|
7
|
12
|
5
|
|
12
|
4
|
12.5
|
7
|
11.5
|
6
|
12.3
|
6
|
11
|
6
|
11.5
|
6
|
|
12,3
|
4
|
11,2
|
6
|
11.5
|
5
|
11,8
|
5
|
12.1
|
7
|
11.5
|
5
|
Ket:
TT : Tinggi
Tanaman
JD : Jumlah Daun
Kelimpahan Makroorganisme
No
|
Bedeng
|
Cacing
|
1
|
1
|
2
|
2
|
2
|
3
|
3
|
3
|
1
|
4
|
4
|
3
|
5
|
5
|
1
|
6
|
6
|
3
|
4.2 Pembahasan
Dari hasil pengukuran, mulsa plastik
dengan varietas 001 merupakan pengukuran tertinggi dari kontrol dan jerami.
Sedangkan untuk kelimpahan makroorganisme berupa cacing, yang paling tinggi
terdapat pada bedeng 2 (PHP), 4 (jerami), dan 6 (kontrol).
Limbah jerami padi sangat mudah
diperoleh diareal persawahan. Pemanfaatan sisa jerami dapat mengurangi masalah
limbah. Sisa tanaman seperti jerami apabila dikomposkan berfungsi sebagai
pupuk. Penggunaan pupuk organik dari limbah jerami akan mengurangi
ketergantungan petani terhadap pupuk kimia. Jerami dapat diolah lebih lanjut
menjadi kompos melalui proses fermentasi dengan menggunakan aktivator mikroba
untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan meningkatkan kualitas
bahan. Prinsip pembuatan kompos bokashi adalah pencampuran bahan organik dengan
mikroorganisme sebagai bioaktivator. Mikroorganisme tersebut dapat diperoleh dari
berbagai sumber, misalnya dari bakteri inokulan (bacterial inoculant)
berupa effective microorganism (EM4). Bioaktivator yang terdapat dalam
EM4 adalah Lactobacillus sp, Saccharomyces sp, Actinomycetes serta
cendawan pengurai selulosa. Mikroorganisme tersebut berfungsi dalam menjaga
keseimbangan karbon dan nitrogen yang merupakan faktor penentu keberhasilan
pembuatan kompos (Djuarnani, Kristian, Setiawan, 2005 dan Yuwono, 2005). Dengan
demikian pemanfaatan limbah bahan organik dan mikroorganisme yang berguna dalam
EM4 perlu
dikembangkan dalam usaha menekan input bahan kimia anorganik.
Bahan
organik seperti limbah tanaman jerami dan alang-alang yang telah dikomposkan
dan diterapkan pada tanaman tomat, diharapkan akan meningkatkan kuantitas dan
kualitas hasil tomat. Studi pemanfaatan bahan organik berarti menunjang sistem
budidaya sayuran yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penelitian bahan
organik ini perlu dikombinasikan dengan pemanfaatan mulsa organik jerami padi
atau alang-alang, agar diperoleh lingkungan tumbuh yang optimum guna memperoleh
produksi yang tinggi pada tanaman tomat.
V.
KESIMPULAN
Varietas 001 lebih responsif terhadap
penggunaan beberapa jenis mulsa daripada varetas 002. Mulsa yang paling efektif
untuk mencegah pertumbuhan gulma adalah mulsa PHP. Sedangkan penggunaan mulsa
jerami padi masih ada resiko tumbuhnya tanaman padi dari sisa-sisa panen.
DAFTAR PUSTAKA
Chozin,
M. A dan Sumantri. 1983. Pengendalian Gulma dengan Mulsa dan Herhisida,Pratumbuh
Pada Tanaman Jagung (Zea mays L). Bull Agronomi Voll XIV No 2
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Deptan.
2007. Pedoman Tomat. http://www.deptan.go.id/ditlinhorti/ buku_sayur06/pedomantomat.
Htm. 17 Des 2014.
Foth, H. P. 1994. Dasar-dasar
ilmu tanah.
Edisi 6. Penerbit Erangga. Jakarta.
Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu
dan Pengendalian Gulma. CV. Rajawali. Jakarta.
Moenandir,
J. 1993. Ilmu Gulma Dalam sistim Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Mulyatri. 2003. Peranan
pengolahan tanah dan bahan organik terhadap konservasi tanah dan
air. Pros. Sem. Nas. Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi.
Putih,
Rida. 1994. Pengaruh Pemupukan P dan Pemangkasan Cabang Terhadap Pertumbuhan
dan Hash Tomat (Lycopersicum esculentum Mill). Jumal Stigma Vol. VI no 1
April 1998, hlm.119-122.
Setyorini,
Dwi. 2008. Pengaruh Umur Pindah Tanam dan Warna Mulsa Plastik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat. http://erlanardianarismansyah.file swordpress.com!2009/
12/3 7-ppopttomt.pdf. 17 Des 2014.
Sukman, Yakub. 2002. Gulma dan
Teknik Pengendaliannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Susanti, E. 2003. Pengaruh
Ketebalan Mulsa Jerami terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa
Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Jurusan Budidaya Pertanian,
Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Skripsi.
Sutejo, M. M. 2002. Pupuk dan cara
pemupukan.
Rineka Cipta. Jakarta.
Widyasari, L., T. Sumarni dan Ariffin. 2011. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Mulsa Jerami Padi
pada Pertumbuhan dan Hasil Kedelai. FPUB. Malang.
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bahan organik memiliki peran penting
dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam
mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik
merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah
merupakan masalah penting bagi negera berkembang karena intensitasnya cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, sehingga akan tercipta lahan-lahan rusak yang
jumlah maupun tingkat kerusakannya terus meningkat.
Bahan organik adalah bagian dari
tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari
sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus
mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan
kimia. Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di
dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa
mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang
stabil atau humus.
Bahan organik berperan penting untuk
menciptakan kesuburan tanah. Peranan bahan organik bagi tanah adalah dalam
kaitannya dengan perubahan sifat-sifat tanah, yaitu sifat fisik, kimia, dan
sifat biologis tanah.
Pengelolaan tanah yang berkelanjutan
berarti suatu upaya pemanfaatan tanah melalui pengendalian masukan dalam suatu
proses untuk memperoleh produktivitas tinggi secara berkelanjutan, meningkatkan
kualitas tanah, serta memperbaiki karakteristik lingkungan. Dengan demikian
diharapkan kerusakan tanah dapat ditekan seminimal mungkin sampai batas yang
dapat ditoleransi, sehingga sumberdaya tersebut dapat dipergunakan secara
lestari dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.
1.2 Tujuan
·
Praktikan dapat mengenal beberapa sumber bahan
organik.
·
Praktikan dapat mengetahui pengaruh pemberian
bahan organik yang berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Kacang hijau (Vigna
radiata,L.) merupakan salah satu tanaman
leguminosae yang cukup penting di Indonesia setelah tanaman kedelai dan
kacang tanah. Dalam setiap 100 gram biji kacang hijau mengandung 345 kal
kalori, 22 gram protein, 1,2 g lemak, 62,9 g karbohidrat, 125 mg kalsium, 320
mg fosfor, 6,7 mg besi, 157 SI vitamin A, 0,64 mg vitamin B 1, 6 mg vitamin C
dan 10 g air (Evita, 1997).
Kacang
hijau di Indonesia menempati urutan ketiga terpenting sebagai tanaman pangan
legum, setelah kedelai dan kacang tanah. Penggunaan kacang hijau sangat
beragam, dari olahan sederhana hingga produk olahan teknologi industri. Produk
terbesar hasil olahan kacang hijau di pasar berupa taoge (kecambah), bubur,
makanan bayi, industri minuman, kue, bahan campuran soun dan tepung hunkue.
Kacang hijau juga dimanfaatkan sebagai bahan makanan, kacang hijau juga
mempunyai manfaat sebagai tanaman penutup tanah dan pupuk
hijau.
Kandungan gizi dalam 100 g kacang hijau meliputi karbohidrat 62,9 g, protein
22,2 g, lemak 1,2 g juga mengandung Vitamin A 157 U, Vitamin B1 0,64 g, Vitamin
C 6,0 g dan mengandung 345 kalori (Mustakim, 2012).
Masih
rendahnya produksi dan produktivitas yang dicapai petani dalam pengembangan
budidaya kacang hijau disebabkan oleh teknik budidaya yang belum optimal,
pemupukan dan persediaan air kurang memadai, adanya serangan hama dan penyakit,
serta adanya gangguan gulma yang merupakan pesaing dari kacang hijau. Pengaruh
yang merugikan dari gulma terhadap tanaman budidaya dapat berupa persaingan
dalam pemanfaatan unsur hara, air, cahaya serta ruang tempat tumbuh. Kemampuan
persaingan antara tanaman dengan gulma dipengaruhi oleh jenis gulma, kerapatan
gulma, saat dan lamanya persaingan, cara budidaya, dan varietas yang ditanam
serta tingkat kesuburan tanah. ( Fitrina, 2005 ).
Bahan organik
tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang
mempunyai
peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat
tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah.
Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan
dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi
perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus
tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah
untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal ini
berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek
lempung-logam-humus (Stevenson, 1982). Pada tanah pasiran bahan organik dapat
diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpal,
sehingga meningkatkan derajat struktur dan ukuran agregat atau meningkatkan
kelas struktur dari halus menjadi sedang atau kasar (Scholes et al.,
1994). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur
(pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur
yang sedang hingga kuat.
Mekanisme
pembentukan egregat tanah oleh adanya peran bahan organik ini dapat digolongan
dalam empat bentuk: (1) Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi
mikroorganisme tanah baik jamur dan actinomycetes. Melalui pengikatan secara
fisik butir-bitir primer oleh miselia jamur dan actinomycetes, maka akan
terbentuk agregat walaupun tanpa adanya fraksi lempung; (2) Pengikatan secara
kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian–bagian positip dalam
butir lempung dengan gugus negatif (karboksil) senyawa organik yang berantai
panjang (polimer); (3) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui
ikatan antara bagianbagian negatif dalam lempung dengan gugusan negatif
(karboksil) senyawa organik berantai panjang dengan perantaraan basa-basa Ca,
Mg, Fe dan ikatan hidrogen; (4) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung
melalui ikatan antara bagian-bagian negatif dalam lempung dengan gugus positif
(gugus amina, amida, dan amino) senyawa organik berantai panjang (polimer)
(Seta, 1987). Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam humat lebih bertanggung
jawab pada pembentukkan agregat di regosol, yang ditunjukkan oleh meningkatnya
kemantapan agregat tanah (Partoyo, 1999).
III.
METODE
PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi alat
ukur, tali rafia, sabit, cangkul dan gembor.
Bahan yang digunakan adalah benih
kacang hijau, pupuk organik berupa pupuk kompos, dan pupuk NPK.
3.2 Cara Kerja
1.
Membuat petakan percobaan 1.5 x 2 m.
2.
Setiap kelompok membuat petakan sebanyak 6 petak
untuk 3 dosis bahan organik berupa pupuk kompos (5, 10, dan 15 ton/ha) dengan 2
ulangan.
3.
Menyebarkan bahan organik yang telah
dipersiapkan ke dalam petakan secara merata sesuai dengan dosis yang digunakan.
4.
Seminggu setelah pemberian pupuk kompos, maka segera
menanam benih kacang hijau dengan jarak tanam 25 x 30 cm.
5.
Mengamati pertumbuhan dan perkembangan tanaman
kacang hijau dan mencatat perbedaan pertumbuhan akibat pemberian dosis bahan
organik yang berbeda.
6.
Melakukan pemupukan 2 MST (Minggu Setelah Tanam),
dengan pupuk Urea 75 kg/ha, pupuk KCL 50 kg/ha, dan pupuk SP36 50 kg/ha.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Pengamatan
Petak
|
Tinggi
tanaman (cm)
minggu
ke-
|
Rata2
|
Jumlah
daun (helai) minggu ke-
|
Rata2
|
Minggu
keluar bunga
|
Ket
|
||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|||||
1
|
6.5
|
13.5
|
17.4
|
22.6
|
26.9
|
17,38
|
2
|
7
|
12
|
17
|
21
|
11
|
4
MST
|
1
Mati
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2
|
8
|
15
|
19.6
|
25.5
|
32.2
|
20,06
|
2
|
8
|
14
|
18
|
22
|
12
|
4
MST
|
1
Mati
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3
|
6.3
|
11.8
|
13.5
|
16.5
|
19.3
|
13,48
|
2
|
4
|
8
|
14
|
18
|
9
|
4
MST
|
2
Mati
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4
|
6.6
|
15.5
|
21.8
|
29.5
|
36.5
|
21,98
|
2
|
8
|
13
|
17
|
21
|
12,2
|
4
MST
|
-
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5
|
5.7
|
11.2
|
14.8
|
18.2
|
22.2
|
14,42
|
2
|
6
|
10
|
14
|
18
|
10
|
4
MST
|
1
Mati
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6
|
8.6
|
11.8
|
14.3
|
17.6
|
21
|
14,66
|
2
|
6
|
8
|
12
|
16
|
8
|
4
MST
|
1
Mati
|
4.2
Pembahasan
Dari
hasil pengamatan, dimana dosis pupuk 5 ton/ha (bedeng 4 dan 6), 10 ton/ha
(bedeng 1 dan 2), dan 15 ton/ha (bedeng 3 dan 5) pengukuran tinggi tanaaman dan
jumlah daun tertinggi terdapat pada petak ke 4 yaitu dosis pupuk kompos
sebanyak 5 ton/ha.
Namun,
karena tidak dilakukannya pengendalian OPT, terdapat beberapa jenis penyakit
seperti: bercak daun, karat daun, kudis, dan mozaik pada kacang hijau.
Kacang
hijau sangat cocok ditanam pada tanah bertekstur liat berlempung yang banyak
mengandung bahan organik, aerasi, serta drainase yang baik. Kacang hijau akan
tumbuh optimal pada struktur tanah yang gembur dengan pH 5,8 - 7,0 optimal 6,7.
Untuk
lahan yang kurang subur, tanaman dipupuk 45 kg Urea + 45 - 90 kg SP36 + SD kg
KCl/ha yang diberikan pada saat tanam secara larikan di sisi lubang tanam
sepanjang barisan tanaman. Bahan organik berupa pupuk kandang sebanyak 1520
ton/ha dan abu dapur sangat baik untuk pupuk dan diberikan sebagai penutup
lubang tanam. Di lahan sawah bekas tanaman padi yang subur, tidak perlu dipupuk
maupun diberi bahan organik. Manfaatkan mulsa jerami untuk budidaya kacang
hijau. Karena penggunaan mulsa jerami dapat menekan serangan hama lalat bibit,
pertumbuhan gulma, dan penguapan air. Dosis jerami padi diberikan sebanyak 5
ton/ha.
V.
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan, pengukuran
tinggi tanaaman dan jumlah daun tertinggi terdapat pada petak ke 4 yaitu dosis
pupuk kompos sebanyak 5 ton/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Evita,
2007 : 5. “Pengaruh beberapa dosis kompos sampah kota terhadap pertumbuhan
dan hasil
kacang hijau”. Jurnal agronomi, 13 No. 2, Juli – Desember 2009.
Fitrina,
2005 : 2 Pengaruh Kerapatan Awal Umbi Teki (Cyperus rotundus L.) dan Dosis Pupuk K
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.) Artikel
: Instansi Badan Bimas Ketahanan
Mustakim,
M. 2012. Budidaya kacang hijau secara intensif. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.
140 hal.
Pangan Provinsi Sumatera Barat Jalan
Raden Saleh No. 4 Padang.
Partoyo,
Joetono, dan Sri Hastuti. 1999. Pengaruh Polisakarida fraksi berat tanah dan
asam humat pada pembentukan dan pemantapan agregat
regosol. Konggres Nasional VII. HITI. Bandung.
Scholes,
M.C., Swift, O.W., Heal, P.A. Sanchez, JSI., Ingram and R. Dudal, 1994. Soil Fertility research in response to demand for
sustainability. In The biological
managemant of tropical soil
fertility (Eds Woomer, Pl. and Swift, MJ.) John Wiley & Sons.
New York
Seta, A.K. 1987. Konservasi
Sumberdaya Tanah. Kalam Mulia. Jakarta.
Stevenson, F.T. (1982) Humus
Chemistry. John Wiley and Sons, Newyork.